Pelopor Pendidikan Pertama Untuk Orang Islam di Tulehu, Ambon






Pelopor Pendidikan Pertama Untuk Orang Islam di Tulehu, Ambon


Bapaknya adalah salah satu dari 40 orang pelopor yang menuntut didirikannya sekolah di Kampung Tulehu pada zaman penjajahan Belanda. Sementara dirinya dan saudaranya adalah angkatan pertama di kampungnya yang beragama islam dan berani melanjutkan ke satu-satunya SMP Negeri di Ambon. Dimana pendidikan untuk masyarakat Islam saat itu sangat di batasi!


Tampak di foto hanyalah seorang nenek biasa. Tapi siapa yang sangka, beliau adalah seorang sejahrawan yang menguak peristiwa sejarah abad 16-17 di daerah Maluku, tanah kelahirannya. Beliau melakukan penelitian dan pengumpulan data selama 32 tahun, akhirnya membuahkan hasil sebuah buku berjudul “Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam terhadap Imperialisme di Daerah Maluku”.

Tidak banyak orang tahu kebenaran yang banyak disembunyikan ini. Salah satunya adalah kenyataan pahit yang dirasakan masyarat Islam Maluku dalam memerangi penjajah selama kurang lebih 285 tahun lamanya. Selama 85 tahun (1520-1605) memerangi Penjajah Portugis dan untuk kurang lebih 200 tahun (1609-1805), memerangi Penjajah Belanda.

Buku ini menceritakan 10 peperangan. Dimulai dari perang melawan Portugis: Perang Hitu(1520-1605), Perang Alaka 1(1570-1573), Perang Iha 1(1570). Kemudian dilanjutkan dengan perang melawan Belanda: Perang Banda(1609-1621), Perang Hoamual(1625-1656), Perang Wawane(1633-1643), Perang Kapahaha(1636-1646), Perang Tidore 1(1780-1805), Perang Alaka 2(1625-1637), dan Perang Iha 2(1632-1651).

Kisah lika-liku dimulai dari perjuangan dan motivasi menjadi orang berpendidikan, ternyata sudah di tanam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Dilanjutkan dengan jatuh bangunnya karir beliau dan kehidupan rumah tangga yang tidak berjalan dengan baik. Tapi beliau tetap bisa mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik sekaligus penulis sejahrawan. Kisah perjuangan selama hidupnya adalah cerita fenomenal dan sangat inspiratif untuk dibaca.

Dra.Ha.Maryam Lestaluhu dan kelima saudaranya lahir di Kampung Tulehu dari keluarga yang serba kekurangan. Tidak hanya itu, akses pendidikan disana sangatlah minim karena penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Diskriminasi tidak menjadikan suatu alasan beliau dan saudaranya untuk mengecap pendidikan yang lebih tinggi dari kedua orangtuanya. Meski ayah-ibundanya penyandang buta aksara, ayahnya lah motivator terbesarnya untuk menjadi orang berpendidikan. Tetapi, sangat disayangkan saat itu Kampung Tulehu belum didirikan sekolah rakyat. Sekolah hanya diperuntukkan pada anak-anak regent (Kepala Desa) atau golongan bangsawan. Ayah beliau adalah salah satu dari 40 orang yang menuntut didirikannya sekolah di kampungnya. Desakan terus dilakukan, hingga akhirnya Pemerintah Penjajah Belanda mendirikan sekolah rakyat (Volkschool).

Diskriminasi ini kerapkali dirasakan bagi orang Islam di Kampung Tulehu. Dimana Pemerintah Belanda hanya mendirikan sekolah di kampung-kampung yang masyarakatnya beragama kristen. Jikapun ada sekolah di kampung Islam, hanya didirikan sampai kelas 3 SD, sementara di kampung Kristen sudah sampai kelas 5 SD. Tidak hanya diskriminasi dalam pendidikan, Pemerintah Belanda dan Portugis dengan tidak berperikemanusiaan melakukan misi kristenisasi pada kampung-kampung Islam. Dan seketika misi selesai, penjajah akan melarang penggunaan bahasa asli daerah di sekolah, gereja, dan lingkungan pergaulan masyarakat. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kecurigaan masyarakat Maluku dalam berbicara rahasia.

Diskriminasi pada masyarakat Islam yang kejam tidak diherankan. Mengingat latar belakang umat Islam yang kuat melakukan perlawanan pada penjajahan. Selain itu faktor agama ‘Kristen’ yang sama dengan para penjajah Belanda dan Portugis, membuat kebijakan yang sepihak menguntungkan umat Kristiani Maluku. Disanalah munculnya politisasi yang bersinergi dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, dan lain lain. Beliau dan saudaranya, Muhammad Lestaluhu, SH adalah pelopor pendidikan pertama bagi masyarakat Islam di kampungnya. Dengan usaha dan keberaniannya, merekalah orang pertama yang berhasil melanjutkan ke satu-satunya SMP Negeri di Ambon yang didominasi orang kristiani. Kerapkali mereka dilecehkan dan diejek oleh teman sekampungnya yang berpikir bahwa sekolah itu tidak ada gunanya.

Ternyata benar ungkapan ‘Man Jadda Wa Jadda’, siapa mereka yang bersungguh-sungguh, maka keberhasilan untuk mereka. Berkat kemauan keras dan sikap disiplin ayah beliau sejak kecil, membuat keempat anaknya dari enam bersaudara tumbuh menjadi pendidik. Anak keduanya Ahmad Lestaluhu menjadi Kepala Pendidikan&Kebudayaan Kab.Halmahera Tengah. Anak keempat Zubaedah Lestaluhu sempat menjadi anggota DPR di Maluku dan menjabat Kepala Sekolah SMP-SMA Muhammadiyah, Ambon. Anak keempat, yaitu beliau sendiri, menjadi dosen di Universitas Pattimura. Sementara anak kelima, Master Muhammad L, SH adalah rektor Universitas Pattimura selama 11 tahun (1974-1985).

Riwayat pendidikan Dra.Ha.Maryam Lestaluhu adalah menamatkan SGA (Sekolah Guru Atas) di Ambon. Setelah itu mengajar di beberapa SMP Negeri sambil mulai mengadakan penelitian dan pengumpulan data mengenai perlawanan masyarakat Islam terhadap imperialisme di Maluku dilakukan selama 32 tahun(1954-1986). Sementara proses penelitian, beliau mengikuti kuliah B1 Ilmu Bumi selama 3 tahun di Ambon. Setelah lulus, beliau berniat untuk menjadi guru. Tapi, diskriminasi kembali dirasakan. Ketika mendaftar di SMEA, beliau ditolak mentah-mentah, lantaran kepala sekolah disana adalah orang Kristiani. Akhirnya menjadi guru honorer adalah pilihannya.

Beliau menikah pada saat berkuliah di B1. Namun sangat disayangkan bahtera rumah tangganya tidak berjalan lancar. Hingga akhirnya beliau bercerai dan memilih menghidupi sendiri ketiga anaknya selama 15 tahun lamanya. Perceraian tidak menjadi halangan untuk meniti pendidikan dan karir. Beliau kembali melanjutkan kuliah di IKIP Makassar bidang geografi. Keuletannya sebagai single parent dalam menomorsatukan pendidikan pada anaknya membuahkan hasil. Anak pertamanya, dr.Yasni Rufaidah adalah lulusan kedokteran UNHAS. Anak kedua, Dr.Elmi Nurhaidah melanjutkan jenjang pendidikan sampai doktoral perikanannya di Perancis dan Jerman. Sementara anak ketiga, Nasrul Irianto, SE lulusan sarjana Ekonomi Jayabaya.

Selama masa karir beliau, hasil buku penelitiannya selama 32 tahun sempat dipublikasikan di Antara News. Berkat itu, Perpustakaan Amerika(Library Congress) yang berpusat di Jakarta membeli 15 buah bukunya. Menurut sekretarisnya, buku tersebut akan disebarkan di seluruh perpustakaan perguruan tinggi di Amerika. Setelah dicek di internet dan melihat langsung, ternyata bukunya memang tersebar, salah satunya di perpustakaan UNCL, California. Pada tahun 70’an, beliau sempat ditawari posisi jabatan ‘Dirjen Suku Terasing’ oleh mantan Mensos, Bapak Mintareja, SH. Namun, beliau menolak mengingat ketiga anaknya yang masih SLTA. Beliau juga kerapkali diundang menjadi pembicara. Salah satunya adalah undangan dari petinggi RMS di Belanda. Ketika kerusuhan di Maluku, beliau kembali lagi menjadi pembicara bersama Imam Prasojo dan sejahrawan lainnya untuk membahas tentang sejarah pela dan gandong di Maluku. Beliau juga aktif di Masyumi dan menjadi salah satu pendiri PII dan HMI di Maluku tahun 1957-1959. Selama masa hidupnya beliau mengabdi menjadi dosen tetap di Universitas Pattimura hingga waktu pensiun (1978-1988).

Di kelahiran tahun 1930, kini umurnya memasuki 81 tahun. Meskipun sudah berumur tua dan memasuki kategori manula, rupa beliau masih terbilang seperti layaknya umur 60 tahunan. Rahasianya, adalah sering berolah raga jalan kaki dari kecil sampai sekarang. Bahkan beliau seringkali pulang pergi ke Jakarta-Bekasi menaiki angkutan umum. Padahal diumur seperti ini adalah masa-masanya menikmati hari tua di kursi roda umumnya orang lanjut usia.

Saat ini beliau telah menyelesaikan naskah 2 buah bukunya. Namun belum sempat naik percetakan. Bukunya adalah “Menguak Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong di Maluku” dan “Kamus Bahasa Asli Daerah Maluku (bahasa Uli Solemata)”. Yang sudah terkumpul sebanyak 6000 kosakata. Disamping itu beliau juga membuat karya lagu Indonesia, lagu daerah, dan lagu religius namun belum dipublikasikan secara langsung.



Giska Adilah Sharfina Saputra (10/08/2011)

Komentar

  1. Terima kasih akan ulasannya, sangat menarik. Dimana saya dapat akses buku dan bertemu ibu Maryam Lestaluhu.


    Salam,

    Ferry Rangi
    Ambon

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(REVIEW BUKU) DONGKRAK OMZET MILYARAN DENGAN TIM PENJUALAN

Lukisan Sejuk Biru