Ironi Si Batik Indonesia yang terlupakan
Batik adalah salah satu komoditi yang bisa diunggulkan untuk pendapatan perekonomian masyarakat. Saya cukup tercengang setelah membaca koran republika edisi 3 oktober mengenai beamasuk produksi batik Tiongkok yang digratiskan alias nol persen. Padahal batik Indonesia mahal karena menggunakan teknik khusus keterampilan tangan (by canting) sementara batik Cina murah tapi hanya di print dan tidak sesuai ketentuan UNESCO serta produksinya menunggu pesanan yang ada.
Salah satu kasus menyebutkan pula Siti Qomariah (62 tahun), pengrajin batik di Jalan Tuntang, Madiun, satu-satunya pengrajin batik di kota tersebut. Meski minim usahanya berjalan. Ada beberapa pesanan sejumlah instansi pemerintah setempat namun jumlahnya tidak seberapa. Ia berharap ada bantuan peralatan dan order besar dari kantor Pemkot Madiun untuk seragam karyawan. Apalagi Madiun memiliki batik khas, yaitu Batik Retno Kumolo. Kasus lainnya juga di Kota Batam bahwa Kepulauan Riau ditetapkan pusat promosi Batik Indonesia untuk kawasan ASEAN. Ironinya tak tampak geliat Hari Batik Nasional yang jatuh pada Selasa (2/10), “tidak ada instruksi dari wali kota, jadi PNS tetap mengenakan pakaian dinas harian seperti biasa”, kata Wakil Wali Kota Batam Rudi. Semestinya Pemkot Madiun dan Batam bisa mencontoh Pemkot Denpasar, Bali yang mengenakan batik tradisional (endek).
Menurut saya, semestinya pemerintah bisa lebih bijaksana memberlakukan policy yang menguntungkan pengrajin batik Indonesia bukan sebaliknya. Dengan beamasuk free akan mengalihkan konsumsi ke batik Cina karena harga murah dan trend (modernisasi), kondisi rasa kebanggaan besar memakai produk luar negeri. Disini saya menawarkan solusi yang semoga bisa membantu. Pertama, pemerintah memberlakukan pajak untuk produk import. Kedua, pemerintah mewajibkan Pemkot di masing-masing daerah meng-anggarkan pembelanjaan batik dua kali dalam setahun di pengrajin batik daerah masing-masing, bukan diluar daerah. Ketiga, Pemkot memberikan anggaran untuk UKM pengrajin batik dan seluruh Pemkot diharuskan membeli produksi mereka sehingga pengrajin tidak mengalami kerugian besar. Diluar konteks ini, saya terkadang bingung melihat iklan pemerintah yang mengharuskan kita ‘Masyarakat Indonesia’ membeli produk lokal tapi tidak melihat keberagaman hierarki manusia (kelas atas, menengah, bawah) yang maksudnya disini ada yang ‘mampu’ membeli ada yang ‘tidak mampu’ membeli. Alangkah baiknya jika itu dimulai dari pemerintah pusat dan daerah terlebih dahulu yang saya generalkan dinilai mampu membeli ‘diatas rata-rata’ orang lainnya. Semoga solusi tersebut membantu. Salam Indonesia!
Sumber: Koran Republika, Rabu 3 Oktober 2012 page 11, artikel ‘Batik Lokal Ungguli Batik Cina’
Komentar
Posting Komentar