Etnoedutrip di Desa Alam Indah

Himpunan mahasiswa dari jurusanku, Antropologi mengadakan program kerja yaitu Etnoedutrip, kepanjangan dari Etnografi Education Trip. Etnoedu kali ini bertempat di Desa Alam Endah, Kampung Citalahab, Bandung. Kami akan menginap 5 hari disana mulai dari tanggal 9-14 Juni. Perjalanan yang ditempuh menaiki bus ke Bandung kemudian disambung angkot yang dicarter menghabiskan 5-6 jam. Kami sampai disana pukul 15.00 dan langsung dibawa ke salah satu rumah seorang penduduk. Pemilik rumah tersebut adalah pasangan suami-istri yang cukup tua kelihatannya. Mereka sangat ramah, karena langsung menghidangkan gorengan ketika kami tiba. Piscok dan tahu isi yang masih panas karena sehabis digoreng serta teh panas yang membuat perut kami hangat. Kami pun langsung menyantapnya dengan lahap. Selesai makan, kebanyakan teman-teman langsung tertidur pulas, mungkin karena kenyang, lelah di perjalanan ditambah lagi angin sejuk Citalahab saat itu.

Selagi mereka tertidur, saya sholat ashar. Ketika mengambil air wudhu, saya sempat banyak mengobrol dengan ibu pemilik rumah itu. Beliau menggunakan bahasa sunda yang kental, sehingga saya agak sulit mencerna ucapannya. Ibu ini berkali-kali terus meminta maaf karena rumahnya yang jelek dan tidak layak. Saya hanya tersenyum dan berkata tidak apa-apa, karena kita disini banyak merepotkan. Kemudian, si ibu menanyakan asal saya dari mana. Saya bilang bahwa saya tinggal di Bekasi. Tetapi, ibu saya berasal dari Ambon-Padang. Ibu itu kaget dan raut wajahnya sangat menunjukkan ketakutan, ia meyakinkan kalimat saya dengan mengucap ulang kata Ambon, ia tampak takut dan gemetar. Saya pun menenangkannya dan bilang bahwa saya tidak asli Ambon, tapi hanya campuran. Si Ibu pun tenang dan kembali bersikap biasa. Ia lalu menanyakan bapak saya asal darimana. Saya hanya menjawab dari Jawa Timur, padahal bapak saya asli Madura. Setelah selesai berbincang-bincang, saya pun mengambil air wudhu. Kamar mandinya cukup bersih dan penerangannya sangat terang karena atas dindingnya dibiarkan terbuka begitu saja. Air nya keluar dari pipa dan terus menerus mengalir tidak berhenti karena air tersebut berasal dari mata kaki gunung. Selesai sholat saya pun berjalan-jalan keluar.

Tiba-tiba kami dipindahkan ke vila milik Pak RW yang akan menjadi basecamp kita selama 5 hari nanti. Keadaan di vila dengan rumah pertama sangat berbeda jauh. Jika dirumah pertama, dinding nya masih bersemen sedangkan di vila dinding rumahnya sudah berkeramik. Ada juga perapian,1 kamar tidur, ruang tamu ditengah, dan kolam ikan yang cukup luas di halaman luar. Di vila, kami menyiapkan minyak, gula yang akan diberikan pada penduduk yang rumahnya kami tempati. Ketika maghrib tiba, kami dikumpulkan di sebuah madrasah belakang masjid untuk mendapat sambutan formal dari Pak RT dan RW. Saya mendapat kelompok bersama Atika, Irin dan seorang senior pembimbing, Ka Lintang. Kami berempat ditempatkan di rumah Ibu Hasanah. Perjalanan dari basecamp ke rumah Ibu Hasanah banyak menanjak dan memakan waktu 20 menit. Sepanjang perjalanan Ibu Hasanah banyak bercerita tentang keluarganya. Suaminya yang bernama Pak Idan, ketiga anaknya yang laki-laki. Anaknya yang ketiga baru saja menikah. Beliau mempunyai 4 cucu, salah satunya Fijri yang duduk di bangku SD kelas 4. Sesampai disana, kami langsung dibawa ke lantai 2 yang menjadi kamar kami. Sebuah loteng yang sudah tidak ditempati. Banyak poster band-band. Ada juga gambar sebuah masjid dan unta terpampang di dinding serta banyak tumpukan majalah-majalah islam di pojokan. Di luarnya ada beranda yang langsung bisa melihat pemandangan sawah dan gunung yang tidak habis-habisnya. Indah sekali. Kata Ibu Hasanah, ini dulu tempat kamar anaknya. Saya merasa penduduk di kampung ini mempunyai sifat sangat merendahkan diri. Ibu Hasanah berkali-kali bilang rumahnya sangat jelek. Ia mengambilkan kami alas kaki untuk tidur, katanya supaya kaki kami tidak kedinginan. Ia memuji kaki kami cantik, putih, dan bagus tidak seperti kakinya yang hitam dan jelek. Kami berempat hanya tersenyum dan mengelak pernyataan itu. Kami sungguh merasa tidak enak hati karena sifatnya yang terlalu merendahkan dirinya sendiri. Karena sudah malam, kami pun tidur.

Keesokannya tanggal 10, kami membantu Ibu Hasanah untuk memetik strawberry di ladang. Lahan tanah Ibu hasanah tidak terlalu luas, karena penanaman ini hanya iseng-iseng katanya. Kami juga memetik cabe gendot dan lenca untuk dimasak sayur nanti siang. Ibu Hasanah juga banyak mengenalkan jenis tanaman, seperti selada, seledri, kentang. Ada juga beberapa jenis strawberry seperti california, calibret, jepang, dan festival. California mempunyai ciri berwarna merah keputih-putihan, ujungnya runcing, dan berbetuk ”love”. Sementara calibret berwarma merah dan berujung tidak rata. Perwatan tanaman menggunakan campuran pupuk urea dan kandang. Pupuk kandangnya terbuat dari tai domba, terasi, dan gula yang dioven lalu disimpan selama 6 bulan. Untuk panen strawberry harus menunggu 2 bulan kemudian memanen 2 hari sekali. Menurut info Ibu Hasanah, strawberry yang paling laku adalah calibret. Setelah memetik strawberry kami memisah-misahkan menjadi ukuran kecil,sedang, dan besar. Penjualan per kilonya ukuran kecil Rp 5 ribu/kg, sedang Rp 10 ribu/kg, besar Rp 15 ribu/kg. Pendistribusiannya di beli oleh orang dari Bandung, kemudian dijual di Bandung. Menurut info Ibu Eri, menantu Ibu Hasanah yang juga petani strawberry, ia menjualnya ke toko-toko yang membuat kue strawberry. Selesai memisah-misahkan strawberry, Ibu Hasanah membersihkan rumput-rumput yang menganggu sekitar tanamannya. Ibu Hasanah selalu mengkaitkan ajaran agamanya dengan kehidupan sehari-harinya. Seperti rumput yang akidahnya seperti setan jahat karena merusak ladang. Sehingga harus dibasmi dan dihilangkan.

Setelah itu, kami berempat pergi sebentar ke basecamp dan langsung pulang ke rumah karena takut Ibu Hasanah sudah memasak makan siang. Untungnya belum, karena kami ingin membantu memasak. Menu siang itu, sayur lenca oseng-oseng. Potongan daun bawang, lenca dan cabe gendot yang menambah rasa semakin pedas. Sangat nikmat. Kami semua makan dengan lahap. Di sela makan siang, Ibu Hasanah selalu berkali-kali mengatakan untuk kami tinggal lebih lama dengannya. Katanya, kami sudah dianggap anak sendiri. Maklum, anaknya laki-laki semua. Ibu Hasanah kali ini memilih anak perempuan. Dulu, ada juga rombongan laki-laki dari sekolah Lazuardi yang juga menginap di rumah Ibu Hasanah. Selesai makan siang, kami harus kembali lagi ke basecamp untuk melaporkan apa saja yang sudah didapat selama satu hai itu. Rutinitas ini memang suatu rangkaian acara yang harus dilakukan. Satu hal yang agak berat dilakukan, ya cuma karena jarak yang jauh. Selesai pulang dari basecamp, kami berbicang-bincang dengan Ibu hasanah di kamar. Katanya beliau dan teman-temannya baru saja menjenguk dan berdoa bersama untuk tetangganya yang rumahnya baru kebakaran. Setelah itu beliau banyak menceritakan tentang masa mudanya.

Masa mudanya pertama kali ia bertemu dengan suaminya sekarang yaitu di ladang. Ia menikah dengan suaminya umur 14 tahun. Sangat belia sekali. Selain itu beliau menceritakan sejarah asal mula strawberry yang masuk ke desa ini tahun 1997. Sebelum strawberry ada, yang paling sering ditanam adalah kentang, kol, dan tembakau. Dulu juga ada buah pepino, tetapi sekarang sudah tidak ada karena pernah ada angin puting beliung hujan es yang memusnahkan buah pepino sampai ke benihnya. Kakaknya Ibu Hasanah, Pak Supardi pernah sempat jadi petani Pepino. Beliau melakukan study banding di medis Jerman. Hasilnya, terbukti Pepino dapat mengobati banyak penyakit seperti asam urat, kencing manis, darah tinggi, dan lain-lain. Di Jerman, Pepino disebut Husadadewa. Karena mitosnya adalah tanaman yang dipakai para dewa untuk mengobati penyakit. Pembicaraan berlanjut tentang pengalaman Ibu Hasanah dan suaminya ketika naik haji di Mekkah. Mereka banyak mendapat kemudahan seperti keberangkatan pulang dan pergi yang sampai sebelum pada waktu yang semestinya. Mereka juga seringkali dberikan banyak oleh-oleh dan barang mahal oleh orang Turki atau Sudan yang sama sekali tidak dikenalnya.

Kami pun pindah kelantai bawah, karena Ibu Hasanah tiba-tiba ingin menunjukkan foto rumah kakaknya, Pak Supardi yang sangat mewah. Memang, terlihat dari fotonya, rumahnya sangat mentereng dan berlantai 3. berkali-kali Ibu Hasanah bercerita bahwa dia hanya ingin hidup sederhana, karena seluruh kekayaan pastinya akan kembali ke Tuhan, yang dibutuhkan hanya amal saleh. Setelah itu, Ibu Hasanah banyak menceritakan soal agama yang dipelajarinya dari organisasi PERSISTRI (Persatuan Islam Istri). Ibu Hasanah mengaku pada dasarnya ia orang yang sangat penasaran terhadap sesuatu. Contohnya, ketika ia meneliti sendiri, organisasi islam NU maupun Muhammadiyah, yang manakah yang sesuai dengan Al-Quran-Sunnah. Setelah diteliti, ia lebih memilih Muhammadiyah. Berdasarkan penuturan cerita Ibu hasanah, saya dapat mengambil kesimpulan mengapa beliau seringkali merendah, begitupun juga hampir dilakukan seluruh penduduk. Menurutnya, ajaran dari ceramah Ustad Mujadid, ketua cabang Persistri. Kalau kita jangan sok pintar, sok suci, dan harus merendah pada semua orang. Apalagi tamu yang berkunjung ke rumah harus dimuliakan. Menurut Ibu Hasanah, jaman dulu ketika ia kecil adalah jaman jahiliyah(kebodohan). Ibunya Ibu Hasanah sering pergi kedukun, sering percaya hal-hal gaib. Tetapi kalau sekarang sudah tidak. Setelah berbincang banyak, kami pun makan malam, dan tidur.

Keesokan paginya tanggal 11 kami ikut Ibu Hasanah ke tempat pengajian di Kampung Cilastari. Kami sengaja ikut, karena bahan penelitian kelompok kami tentang organisasi Persistri yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat disana. Tetapi, ternyata yang kami ikuti bukan Persistri, hanya pengajian biasa. Persistri yang diikuti Ibu Hasanah di Citalahab. Begitu datang, kami langsung disuguhkan ceramah dari salah seorang ustaz. Ustaz tersebut berceramah memakai bahasa sunda, sehingga kami hanya tersenyum dan tidak mengerti apa yang diceramahkan. Begitu selesai ceramah, kita semua yang di masjid langsung shalat ashar berjamaah. Selesai shalat kami berdoa bersama yang dipimpin oleh si ustaz. Ketika pulang balik ke rumah, Ibu Hasanah memberitahukan bahwa ustaz itu dari NU. Pantas saja, Ibu Hasanah tidak terlalu mengkhidmati doa yang dilakukan bersama. Karena, katanya doa itu yang paling bagus adalah dilakukan seorang diri, tidak perlu harus bersama-sama. Setelah itu, kami pun pergi ke basecamp untuk rapat evaluasi. Malamnya, Ibu Hasanah mengingatkan kami untuk besok pagi bersiap-siap pergi ke pemandian air panas Walini.

Kami berangkat ke Walini tanggal 12 pukul 9 pagi. Ibu Hasanah juga mengajak serta Fijri, cucunya dan Puput, teman Fijri. Sebelumnya, kami makan sarapan tempe, kangkung, marabak mie, dan kerupuk pelengkapnya. Lalu, membungkus nya untuk bekal makan siang di Walini nanti. Kami pergi naik angkot sekali. Sesampai disana, saya cukup terkaget karena ternyata bukan pemandian, melainkan kolam renang. Suasana disana sangat ramai, mungkin karena hari libur, Minggu. Kami tidak membayar tiket masuk Rp 15 ribu karena ada adik Ibu Hasanah, kenalan disana. Kolam renang disana bermacam-macam. Kami memilih kolam yang tidak terlalu penuh, tetapi ternyata harus membayar tiket lagi Rp 5 ribu. Sesampai di dalam, ternyata harus menyewa tempat+tikar Rp 10 ribu. Saya agak sedikit kesal, karena semua serba bayar. Untung tiket awal, kita tidak membayar. Ketika berkeliling, saya kembali lagi melihat papan bayar Rp 5 ribu untuk bak mandi panas. Tempat wisata ini ternyata cukup mengeruk untung yang banyak, pikirku. Kami pun berenang sampai jam 11 siang, kemudian berfoto ria bersama. Sesampai di rumah, Ibu Hasanah langsung pergi ke Persistri karena ada rapat internal, sementara kami kecapaian dan tertidur pulas sampai pukul 16.00 sore. Ketika bangun, tenyata sudah ada banyak senior yang menjemput kami untuk evaluasi rapat di basecamp. Kami pun, pergi ke basecamp dan menceritakan kalau seharian itu kami tidak mendapat info apa-apa tentang Persistri, karena kami hanya pergi ke Walini. Di akhir evaluasi, ada info bahwa serombongan besok akan pergi ke kawah putih. kami pun pulang sebelum maghrib, karena takut kemalaman.

Keesokan paginya tanggal 13, ternyata pergi ke kawah putih dibatalkan, dan digantikan ke Situ Patenggang. Situ Patenggang adalah sebuah telaga yang tercipta alami. Di luar Patenggang, banyak yang menjual aneka oleh-oleh berbentuk strawberry. Suasana di Patenggang sangat sejuk dan pemandangannya bagus untuk foto-foto. Kami banyak mengambil foto disana. Kami serombongan juga menaiki kapal seharga rp 15 ribu/orang. Kapal itu membawa kami ke sebuah daratan di seberang patenggang, namanya batu cinta. Di batu cinta banyak bertuliskan nama-nama pasangan, mungkin efeknya dapat mengawetkan hubungan. Kami semua berfoto-foto disana. Setelah keluar dari Situ Patenggang, kami melihat perkebunan teh dan mengabadikan foto serombongan etnoedutrip disana. Malamnya, kami mengadakan acara perpisahan formal untuk seluruh warga Citalahab bertempat di madrasah. Selesai itu, kami mengabadikan foto bersama di depan masjid. Kemudian dilanjutkan kunjungan para panitia yang akan mengambil foto setiap rumah yang ditempati agar nantinya dicetak dan diberikan untuk pemilik rumah sebagai kenang-kenangan. Ketika malam tiba, saya mengajari Fijri menggambar, kemudian bersama Ka Lintang, kami memijit Ibu Hasanah. Kami tidak tega, karena Ibu Hasanah terlihat sedih dan menangis sesunggukan ketika dipijat. Beliau terus memaksa menginginkan kami tinggal lebih lama.

Keesokannya tanggal 14 hari kepulangan, pagi-pagi bu Hasanah terlihat sibuk di dapur. Beliau tenyata sudah menyiapkan bermacam-macam makanan. Dimulai dari sarden, sup, martabak mie, kerupuk, sambel, dan kerupuk. Selesai makan, tim panitia ternyata sudah menjemput untuk balik ke basecamp dulu. Kami pun pamit dan Ibu Hasanah tampak kaget, tidak mengira akan pergi sepagi ini. Menjelang kepergian, Ibu Hasanah terus menangis, saya tidak kuat melihatnya, sedih rasanya. Kami berempat menghambur berpelukan dengannya bergantian. Meminta maaf atas semuanya selama ini. Beliau kembali lagi meminta kami untuk tinggal. Saya pun menegaskan walaupun jauh, tapi hati kita akan dekat bu. Kita berjanji suatu hari nanti akan menengok Ibu Hasanah lagi. Kami pun memberikan kenang-kenangan berupa hasil foto, buku notes. Sementara saya memberikan sketsa foto Ibu hasanah yang digambar sendiri serta daftar biodata seluruh rombongan, hasil permintaan beliau. Di Basecamp, kami sempat evaluasi rapat untuk terakhir kalinya. Menceritakan pengalaman kesan-pesan dari hari pertama sampai terakhir. Kemudian dilanjutkan acara cebur-ceburan para senior ke kolam ikan. Saya memilih pergi ke rumah Pak Yana membeli oleh-oleh untuk keluarga. Pukul 13.00 siang, rombongan Etnoedutrip pulang menuju Depok.

Sungguh pengalaman trip yang sangat berkesan dan meninggalkan banyak kenangan manis dan pahit. 5 hari yang tidak terbuang sia-sia meski singkat. Saya mendapat keluarga baru, semakin eratnya kekompakan dalam kerjasama tim, merasakan kesejukan udara dan keindahan alamnya yang masih asri, dan masih banyak lagi.



Sekian dan terima kasih

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGAIMANA PEMIMPIN MENGINSPIRASI DUNIA

Gambar (Sketch)